Untukmu yang Merasa Berbeda

        Alunan lagu terdengar sayup-sayup seiring kereta prameks tujuan Yogyakarta yang kutumpangi melaju pelan. Hikmat kudengar dan kuresapi lirik demi lirik dari lagu penyanyi indie yang kini sedang booming.

“Sandarkan lelahmu dan ceritakan
Tentang apapun aku mendengarkan
Jangan pernah kau merasa sendiri
Tengoklah aku yang tak pernah pergi

Bagiku kau tetap yang terbaik
Entah beratmu turun atau naik

Kadang kala tak mengapa
Untuk tak baik-baik saja
Kita hanyalah manusia wajar jika tak sempurna”

Ya, lagu itu merupakan salah satu lagu favorit aku dan mungkin juga lagu favorit teman-teman perempuan yang senasib denganku, memiliki kelebihan berat badan. Memang benar, manusia tidak ada yang sempurna. Ada yang dianugerahi paras cantik dan tubuh langsing bagai gitar spanyol tapi mungkin di lain sisi Tuhan memberikan satu ujian atau kekurangan padanya yang kita tak pernah tahu. Ada juga yang dari kacamata orang luar hidupnya tampak sempurna, cantik, cerdas, kaya, sholehah, punya pasangan yang baik dan pengertian. Akan tetapi, Tuhan memang menciptakan manusia tak sempurna bisa saja ada satu hal yang tak dia miliki tapi orang lain miliki. Sempurna, itu terlalu agung untuk dipunya seorang manusia. Sempurna hanya kepunyaan Tuhan. Lantas, jika begitu mengapa masih saja ada orang yang suka sekali mengomentari kekurangan orang lain? Mengapa masih ada orang yang suka melakukan body shamming terhadap orang lain? Mungkin saja mereka tak sadar bahwa dirinya saja juga tak lebih sempurna dari kita. Tak sadar bahwa dirinya pun punya kekurangan, sama seperti kita. Bahkan jika kita berbeda secara fisik, bukankah perbedaan itu malah justru akan menciptakan suatu keindahan. Kita unik, kita beda, kita spesial.

            Akan tetapi, kalimat “biarin aja, syukuri apa yang udah dikasih Tuhan sama kita, kamu spesial makanya kamu berbeda” nyatanya memang mudah untuk diucapkan atau dituliskan namun susah untuk dipraktikan. Manusia terkadang memang bisa lebih jahat daripada iblis. Mereka sadar bully-an, tindakan body shamming, dan bahkan walaupun hanya sekadar pernyataan basa basi basi dapat melukai hati seseorang, mereka masih terus saja melakukan perbuatan tersebut. Sering kali, pernyataan basa basi basi yang mungkin bagi mereka biasa saja justru merupakan hal yang paling menusuk hati seseorang yang memiliki kekurangan fisik. Misalnya saja, saat lebaran kita bertemu dengan saudara jauh yang frekuensi pertemuannya dengan kita sangat jarang, mungkin setahun sekali baru bertemu dan saat bertemu itu justru kita malah melontarkan kalimat basa basi basi seperti “ih, kamu gendutan ya sekarang” atau “kamu kok tambah item sih, kelamaan kena sinar matahari kota ya?” atau “kamu kurus banget sih kayak lidi, stres ya mikir kerjaan” dan sebagainya. Terlihat biasa kan kalimat-kalimat tersebut? Tapi, mari kita sekarang mencoba menempatkan diri ke posisi orang yang menerima perkataan tersebut. Bagaimana? Menyakitkan bukan? Apalagi jika perkataan itu justru terlontar dari saudara sepupu kita sendiri yang dulu semasa kecil sering sekali bermain dengan kita, kemana-mana berdua. Istilahnya, orang yang pernah jadi partner in crime kita. Tambah sakit kan pasti? Itulah sebabnya, kita harus mulai menjaga perkataan kita kepada siapapun karena kita tak pernah tahu apakah kalimat tersebut menyakiti hati orang lain atau tidak.

            Tindakan body shamming sudah bukan hal sepele. Body shamming merupakan tindak pembulyan yang tak bisa kita biarkan. Hal ini karena sudah banyak orang yang merasa depresi akibat terus-terusan dibully tentang fisiknya yang tak sempurna. Depresi yang terus menerus dialami dan dirasakan oleh korban body shamming ini bahkan tak jarang berakhir pada tindakan self-harm atau self-injury yaitu tindakan menyakiti dirinya sendiri. Tindakan self-harm ini dapat berakibat fatal jika si korban pada akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena sudah tak tahan lagi dengan bullyan yang mereka terima. Kasus-kasus bunuh diri karena tindakan body shamming pun sudah cukup banyak menelan korban. Bahkan, artis sekelas Ariel Tatum pun dilansir dari manado.tribunnews.com mengaku pernah mengalami depresi karena mendapat perlakuan body shamming dari lingkungan sekitarnya hingga nekat melakukan self-harm dan upaya bunuh diri. Sepanjang tahun 2018 lalu pun, dikutip dari news.detik.com, ada sebanyak 966 kasus mengenai body shamming di seluruh Indonesia yang diterima oleh pihak kepolisian. Hal ini menandakan, walaupun sudah ada hukum yang mengatur masalah body shamming, yaitu UU ITE Pasal 45 ayat 1 dan pasal 27 ayat 3, Pasal 310 KUHP, serta pasal 311 KUHP, namun tampaknya para pelaku body shamming tidak juga jera dan berhenti untuk melakukan tindakan pencemoohan kepada seseorang yang memiliki kekurangan fisik.

            Jika hukum saja sudah tak mampu lagi membuat jera para pelaku, lantas bagaimana kita sebagai korban harus menyikapi hal tersebut? Tuhan menganugerahi kita dengan dua tangan yang tak mungkin cukup untuk membungkam semua mulut pelaku body shamming. Dua tangan yang kita miliki ini hanya cukup untuk sebatas menutup kedua telinga kita. Ya, memang, hal ini terdengar klise. Namun, memang ini lah langkah yang dapat kita lakukan. Meski perintah tersebut menjadikan kita seolah-olah lemah, namun sebenarnya hal tersebut tak salah untuk kita terapkan. Tentu saja tidak serta merta kita hanya diam dan tak mempedulikan ucapan mereka karena jika hanya seperti itu, tentu akan sangat berat bagi kita untuk melakukannya. Oleh karena itu, selain kita harus mengabaikan kalimat-kalimat sumbang tersebut, kita juga harus menanamkan rasa percaya diri dalam diri kita. Menanamkan rasa bahwa kita juga manusia oleh karenanya wajar jika kita tak sempurna. Menanamkan rasa syukur dalam diri kita atas apa yang sudah Tuhan berikan. Menanamkan rasa mencintai diri sendiri, kalau kata orang jawa nerimo. Ya, menerima segala yang ada dalam diri kita entah itu kelebihan maupun kekurangan. Lagipula, bukankah Indonesia saja jadi semakin indah dengan adanya perbedaan budaya, suku, bahasa, dan agama yang melekat padanya?

            Bersyukur, menerima, dan mencintai diri sendiri sudah kita lakukan, tapi kok rasanya masih suka baper ya kalau mendengar cemoohan orang lain tentang kita? Well, perasaan baper memang tak bisa kita elakkan. Baper itu lumrah, manusiawi. Setelah kita bisa menerima diri sendiri dan mencintai diri kita apa adanya, langkah kedua yang bisa kita lakukan adalah speak up. Bicaralah terus terang kepada teman atau bahkan saudara yang mungkin sengaja atau tidak mengeluarkan kata-kata yang dapat melukai perasaan kita. Bicaralah pada mereka bahwa hal itu tidak benar. Bicaralah bahwa hal itu menyakitimu. Kamu berhak menegur mereka karena hal yang mereka singgung adalah penampilan atau fisikmu. Fisik atau raga yang kamu cintai, yang kamu rawat, dan yang membersamaimu dari sejak kamu masih berada dalam kandungan. Jangan pernah biarkan orang lain seenaknya mengomentari penampilan dan fisikmu. Mereka tak ada hak sama sekali untuk itu karena mereka toh tak ambil bagian dalam merawat tubuhmu kan? Oleh karenanya, selain kamu harus menerima dan mencintai dirimu sendiri, kamu juga harus tegas untuk melindunginya dari serangan kalimat-kalimat pedas nan tidak mengenakkan hati. Bahagia atau tidaknya kamu dengan tubuhmu dan segala kelebihan serta kekurangannya hanya kamu sendirilah yang bisa menentukannya. Kamu memang beda, tapi karena itulah kamu berharga.

Sumber:

https://news.detik.com/berita/d-4321990/polisi-tangani-966-kasus-body-shaming-selama-2018

https://manado.tribunnews.com/2019/10/20/ariel-tatum-pernah-jadi-korban-body-shaming-akui-punya-gangguan-mental-hingga-coba-bunuh-diri?page=3

Komentar

Postingan Populer