Merajut Asa Anak Negeri Melalui Rangkul
Pandemi covid-19 yang melanda Indonesia pada bulan Maret 2020 hingga kini mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk merubah sistem pendidikan dari semula tatap muka menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan sistem daring dan luring di wilayah dengan zona kuning, oranye, dan merah (Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2O2O Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid- 19), 2020). Sistem daring yang dimaksud di sini adalah siswa melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan fasilitas gawai (gadget) ataupun laptop dan melalui portal-portal dan aplikasi pembelajaran daring seperti zoom, google classroom, google meet, maupun aplikasi ruang guru, dan zenius. Sementara luring adalah sistem pembelajaran jarak jauh dengan menggunakan televisi, radio, modul dan lembar kerja siswa, bahan ajar cetak, alat peraga dan media belajar dari benda di lingkungan sekitar (Surat Edaran Sekretaris Jenderal No.15 Tahun 2020 Pedoman Pelaksanaan Belajar Dari Rumah Selama Darurat Bencana COVID-19 Di Indonesia, 2020).
Kebijakan tersebut tentu menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat. Tak menjadi masalah jika yang menjalani pembelajaran jarak jauh adalah siswa dari keluarga menengah ke atas ataupun bagi siswa yang berdomisili di kota besar. Namun, bagaimana dengan siswa dari keluarga menengah ke bawah dan siswa yang berdomisili di daerah dengan fasilitas pendidikan minim? Daerah 3T (terdepan, teluar dan tertinggal) misalnya. Daerah tersebut merupakan daerah dengan problem pendidikan kompleks. Minimnya sarana dan prasarana yang dibarengi dengan kurangnya tenaga guru yang mumpuni tentu menambah rumitnya keterlaksanaan proses pembelajaran jarak jauh. Jika sebelum adanya kebijakan PJJ saja daerah tersebut sudah cukup terseok-seok dalam menjalani kegiatan belajar mengajar, lantas bagaimana sekarang saat kondisi tak memungkinkan lagi untuk dilakukan pembelajaran tatap muka? Seperti yang terjadi di daerah perbatasan Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat, di tahun 2017 sebelum terjadi pandemi, daerah tersebut sudah mengalami problem pendidikan yang cukup kompleks, seperti kurangnya tenaga pendidik, kesejahteraan guru yang rendah, sarana dan prasarana yang minim, dan kurangnya pemerataan pendidikan (Yosada, 2017). Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Kepulauan Riau, daerah tersebut mengalami problem pendidikan yang kompleks. Problem pendidikan tersebut terjadi karena beberapa faktor seperti kurang memadainya sarana dan prasarana pendidikan, sedikitnya jumlah tenaga pengajar dan kualitas tenaga pengajar yang rendah, biaya pendidikan yang mahal, ditambah dengan kondisi geografis yang terdiri atas pulau-pulau dengan jarak yang jauh menambah semakin peliknya problem pendidikan yang dialami Provinsi Kepulauan Riau jauh sebelum pandemi terjadi (Ginting, 2013).
Memang benar kebijakan PJJ yang dikeluarkan pemerintah tidak menuntut tercapainya tuntutan kurikulum. Pembelajaran PJJ juga lebih difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup, salah satunya mengenai Covid-19. Tugas dan aktivitas pun disesuaikan dengan minat dan kondisi siswa dengan mempertimbangkan akses dan fasilitas belajar di rumah bahkan Ujian Nasional pun dihapuskan (Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2O2O Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid- 19), 2020). Namun, jika begitu adanya, berarti besar kemungkinan jika capaian pendidikan siswa di daerah 3T akan semakin merosot jika dibandingkan dengan capaian pendidikan siswa di daerah dengan sarana dan prasarana yang memadai atau dapat diibaratkan, yang tertinggal akan semakin tertinggal dan yang melesat akan semakin melesat. Pandemi Covid-19 ini jika diibaratkan samudra, maka yang berlindung di kapal mewah dengan sistem keamanan canggih akan selamat sampai tujuan namun berbeda dengan yang mengarungi samudra dengan kapal kecil dan layar yang seadanya, bisa jadi mereka juga selamat namun besar kemungkinan kapal mereka akan karam di tengah samudera. Oleh karena itu, inilah saatnya bagi mahasiswa untuk ikut mengabdikan dirinya menolong orang-orang yang berada di kapal kecil tersebut agar bisa selamat sampai di tujuan dengan kontribusi nyata yang mereka lakukan demi terajutnya asa anak negeri, salah satunya melalui ”Rangkul”. Rangkul merupakan suatu kegiatan kerelawanan yang anggotanya terdiri dari perwakilan mahasiswa Universitas Sebelas Maret yang berdomisili dekat dengan daerah 3T. Kegiatan ini bertujuan untuk membantu siswa-siswa di daerah 3T agar dapat belajar dengan lebih baik. Harapannya dengan adanya Rangkul, siswa-siswa di daerah 3T dapat lebih terbantu dalam menjalani PJJ sehingga nantinya prestasi akademik yang mereka raih selama pandemi tidak jauh berbeda dengan prestasi akademik siswa-siswa di kota besar.
Kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang ditetapkan oleh pemerintah dalam Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid- 19) memaksa siswa untuk tidak lagi belajar di sekolah. Semua kegiatan belajar mengajar otomatis dialihkan ke rumah dan yang menjadi pengawas serta penanggung jawab terlaksananya pembelajaran siswa adalah orang tua ataupun orang dewasa yang ada di sekitar siswa tersebut seperti kakak, bibi, ataupun paman. Jika begitu, maka kecakapan orang tua ataupun keluarga siswa dalam memahami materi yang akan dipelajari siswa utamanya siswa yang berada di jenjang sekolah dasar turut menjadi penentu apakah siswa akan berhasil dalam mencapai tujuan pembelajaran hari itu ataukah tidak. Hal ini dikarenakan siswa jenjang sekolah dasar masih membutuhkan bimbingan dalam belajar utamanya siswa kelas 1,2, dan 3. Hal tersebut karena siswa dengan jenjang kelas tersebut masih membutuhkan penyesuaian diri dari perubahan kegiatan belajar yang mereka alami saat taman kanak-kanak ke jenjang sekolah yang lebih tinggi (Sugihartono, 2007).
Hubungan antara keterlibatan orang tua dengan capaian prestasi akademik anak juga dipaparkan dalam riset yang dikerjakan oleh tim dari Harvard. Dalam risetnya, mereka mengklaim bahwa keterlibatan keluarga berkorelasi positif terhadap prestasi akademik siswa di sekolah (Harvard Family Research Project, 2007). Hal yang sama juga dipaparkan dalam jurnal yang ditulis oleh Barnard (2004). Pada jurnal tersebut, Barnard menyatakan bahwa keterlibatan orang tua mendukung tercapainya prestasi akademik siswa sekolah dasar yang juga akan memengaruhi prestasi akademik siswa tersebut di jenjang sekolah yang lebih tinggi.
Besarnya peran orang tua dalam mendukung keberhasilan belajar siswa di sekolah terutama saat pembelajaran jarak jauh, menyebabkan munculnya kesenjangan dalam pendidikan siswa Indonesia saat ini. Orang tua dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi serta orang tua dengan keahlian menggunakan teknologi yang lebih tinggi tentu akan lebih mudah dalam membimbing anaknya saat pembelajaran jarak jauh melalui daring ataupun luring. Namun, berbeda halnya bagi orang tua dengan tingkat pendidikan rendah ataupun orang tua yang masih belum melek teknologi. Mereka tentu akan lebih mengalami kesulitan dalam membimbing anaknya melakukan kegiatan pembelajaran jarak jauh. Hal tersebut dikarenakan orang tua dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi tentu akan lebih mampu membantu anaknya saat belajar di rumah baik secara luring ataupun daring.
Oleh karena itu, berdasarkan paparan tersebut, penulis menganalisis data proporsi remaja dan dewasa usia 15 hingga 59 tahun dalam kaitannya dengan angka melek huruf (Gambar 1) dan kecakapan penggunaan teknologi berdasarkan provinsi (Gambar 2).
(Sumber: https://www.bps.go.id/indicator/28/1466/1/angka-melek-huruf-penduduk-umur-15-59-tahun-menurut-provinsi.html)
Komentar
Posting Komentar