Borneo, Sebuah Polemik Pembangunan Ibu Kota Baru
Eksotis, satu kata yang menggambarkan
tanah Borneo. Alamnya yang berseri, satwanya yang menawan, dan budanya yang
luhur seakan menambah polesan keeksotisan Borneo. Borneo atau yang saat ini
lebih dikenal sebagai Kalimantan merupakan pulau ketiga terbesar di dunia yang
terletak di sebelah utara Pulau Jawa dan sebelah barat Pulau Sulawesi. Sejak
dahulu Kalimantan memang terkenal akan kekayaan flora dan faunanya. Bahkan
menurut data dari MacKinnon (1981) dalam Kusmana (2015), Kalimantan memiliki
kekayaan spesies flora tertinggi kedua dari Papua, yakni sekitar 900 spesies
dengan 33 spesies endemik di dalamnya. Lebih lanjut, menurut data dari Direktorat
Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem tahun 2017, Kalimantan
khususnya Kalimantan Timur, memiliki total luas wilayah konservasi seluas
441.451,62 Ha. Jumlah tersebut terbilang luas jika dibandingkan dengan luas
lahan konservasi daerah Kalimantan Selatan yang hanya sebesar 214.129,32 Ha. Tak
hanya itu, Kalimantan juga memiliki beberapa jenis satwa endemik seperti
bekantan, owa, dan orangutan asli Kalimantan yaitu Pongo pygmaeus. Floranya yang kaya, lahan konservasinya yang luas,
dan satwanya yang khas, apakah akan tetap dapat bertahan?
Faktanya, kebakaran hutan masih menjadi
peristiwa yang marak terjadi di Indonesia, khususnya di Kalimantan. Meski
Presiden Jokowi dalam konferensi persnya di Istana Negara, menyatakan bahwa
kawasan yang dipilihnya sebagai ibu kota baru tersebut minim bencana, namun menurut
data dari BNPB dilansir dari nasional.tempo.co, luas kebakaran hutan dan lahan
di Kalimantan Timur menempati urutan tertinggi kedua setelah Kalimantan Selatan,
yaitu seluas 4.430 hektar. Adapun, jumlah kebakaran hutan tertinggi di
Kalimantan Timur terjadi di wilayah Bontang dengan total kejadian sejumlah enam
kali dari sembilan kali jumlah kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sepanjang
tahun 2019. Sementara dua lainnya terjadi di wilayah Penajam Paser Utara dan
satu lagi terjadi di wilayah Kutai Barat.
Peta
sebaran karhutla di Kalimantan Timur
Diagram
batang frekuensi karhutla di tiga wilayah Kalimantan Timur selama tahun 2019
Kebakaran hutan tersebut menyebabkan sejumlah flora
yang ada di dalamnya musnah terbakar. Tak hanya itu, hutan yang terbakar
menyebabkan spesies endemik di Kalimantan seperti orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) kehilangan tempat
tinggalnya. Tak jarang mereka yang gagal menyelamatkan diri ikut menjadi korban
dari kebakaran hutan. Jika sudah begitu, maka bukan tak mungkin jika suatu saat Orangutan Kalimantan mengalami kepunahan karena saat ini pun menurut data dari
IUCN Red List, Orangutan Kalimantan
statusnya tergolong ke dalam critically
endangered. Hal tersebut sepatutnya menjadi catatan penting yang mesti
dipikirkan oleh pemerintah khususnya presiden
sebelum mengambil keputusan untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur.
Pemindahan
ibu kota ke Kalimantan Timur, berarti juga pemindahan
pusat pemerintahan yang meliputi aparatur dan segala keperluannya termasuk
gedung-gedung pemerintahan dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Perlu kita garis
bawahi, pemindahan gedung-gedung pemerintahan dari Jakarta ke Kalimantan
berarti perlu adanya pembukaan lahan di Kalimantan guna membangun infrastruktur
pemerintahan yang baru. Dilansir dari finance.detik.com, Kepala Bappenas,
Bambang Brodjonegoro mengungkapkan lahan yang diperlukan untuk membangun ibu
kota baru seluruhnya kurang lebih seluas 180 ribu hektar. Jumlah tersebut
separuhnya merupakan ruang terbuka hijau termasuk hutan lindung. Meski
pemerintah berjanji untuk tidak mengusik kawasan hutan lindung, namun tetap tak
ada yang bisa menjamin janji tersebut akan ditepati. Pasalnya jika dilogika,
pemindahan ibu kota baru ke Kalimantan Timur tak hanya membutuhkan lahan yang
luas untuk pembangunan infrastruktur pemerintahan saja. Aparatur pemerintahan
beserta pegawai negeri sipil yang rencananya akan ikut dipindahkan ke
Kalimantan Timur kemungkinan besar akan membawa serta keluarganya untuk ikut pindah ke ibu
kota baru tersebut. Meski pemerintah telah menyediakan lahan untuk pembangunan
rumah dinas, akan tetapi tak menutup kemungkinan jika ke depan akan ada
perluasan lahan untuk membangun sarana yang sebelumnya tidak dianggarkan,
seperti pusat perbelanjaan, taman bermain, dan sebagainya untuk membuat para
aparatur pemerintahan dan PNS beserta keluarganya betah tinggal di Kalimantan
Timur. Padahal dengan adanya perluasan lahan pembangunan kelak, itu artinya
akan ada hutan yang terpaksa harus dikorbankan lagi yang juga berarti akan ada
pohon-pohon yang harus ditebas lagi demi membuka lahan baru. Semakin banyak
pohon dan hutan yang digunduli itu artinya daerah resapan air di Kalimantan
Timur akan semakin berkurang. Jika sudah seperti itu, maka lambat laun bencana
banjir yang kerap terjadi di Jakarta juga dapat terjadi di Kalimantan Timur.
Belum
lagi masalah polusi udara dan polusi air yang akan meningkat di Kalimantan
Timur seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Apabila pemerintah memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan
Timur dengan tujuan untuk mengurangi polusi udara dan polusi air yang sudah
terlampau banyak di Jakarta seperti yang diungkapkan di nasional.kompas.com,
maka menurut saya keputusan tersebut tidaklah tepat. Seperti memindahkan satu
batu dari satu sisi jalan ke sisi jalan yang lain. Batu itu akan tetap ada dan
malah akan menimbulkan masalah baru di tempat yang lain. Aparatur pemerintahan
dan pegawai negeri sipil beserta keluarganya yang sebelumnya telah terbiasa ke
mana-mana menggunakan kendaraan bermotor hanya akan menimbulkan masalah baru di
Kalimantan Timur. Adanya penambahan penduduk di Kalimantan Timur, berarti juga
adanya penambahan kendaraan bermotor yang berarti juga penambahan polusi udara.
Belum lagi jika sumber energi ibu kota baru nantinya masih memakai Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara seperti yang terjadi di Jakarta, maka sudah
pasti polusi udara hanya akan berpindah dari Jakarta ke Kalimantan Timur bahkan
mungkin malah akan semakin parah mengingat nantinya Jakarta juga akan tetap
dibangun sebagai pusat perdagangan bertaraf internasional. Dibangunnya Jakarta
sebagai pusat perdagangan bertaraf global, mengisyaratkan bahwa walaupun ibu
kota sudah tidak lagi berpusat di Jakarta akan tetapi Jakarta tetap akan
menjadi kota yang sibuk.
Masalah
pencemaran air juga patut menjadi suatu hal yang harus dipikirkan matang-matang
oleh pemerintah. Perlu diingat, Kalimantan merupakan daerah yang menyimpan
kekayaan fauna yang terbilang besar baik di daratan mapun perairan. Fauna perairan yang ada di Kalimantan Timur, misalnya saja hiu paus, pesut mahakam,
penyu hijau, dan lain sebagainya.
Ketiga jenis fauna tersebut saat ini masuk ke dalam kategori langka atau endangered. Hal tersebut berarti perlu adanya perhatian
khusus dari presiden dan pemerintah untuk
mengupayakan cara agar fauna-fauna tersebut dapat terus lestari. Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya, keputusan presiden yang terbilang terburu-buru untuk
memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur justru dapat menjadi ancaman
tersendiri bagi fauna perairan di Kalimantan Timur. Adanya penambahan jumlah
penduduk dapat menambah pula jumlah pencemaran air di Kalimantan Timur khususnya pencemaran air dari sektor
limbah rumah tangga. Jika pencemaran air di Kalimantan Timur meningkat,
dikhawatirkan akan mengancam kelestarian dari fauna-fauna tersebut di
Kalimantan Timur.
Segala
polemik yang berkaitan dengan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan
Timur utamanya yang berhubungan dengan lingkungan hidup sudah sepatutnya
menjadi PR bagi presiden dan pemerintah untuk beripikir sekali lagi. Berpikir
apakah pemindahan ibu kota tersebut sudah tepat dilakukan? Apakah pemindahan
ibu kota tersebut akan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang kini
dihadapi Jakarta atau justru akan memperparah?
Segala keputusan akan selalu menimbulkan
dampak dan langkah yang paling bijaksana bagi seorang presiden adalah memilih
keputusan berdasarkan dampak yang paling
kecil dari segala pilihan yang ada.
Daftar Pustaka
Kusmana. (2015). Keanekaragaman Hayati Flora di Indonesia. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan 5 (2)
Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem. (2018). STATISTIK DIREKTORAT
JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM TAHUN 2017. Jakarta :
Sekretariat Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Komentar
Posting Komentar