Evolusi dan Implementasinya dalam Pembelajaran di Sekolah (Review Perkembangan Studi Evolusi dan Pembelajarannya di Sekolah Menengah)


        Seperti efek bola salju, setiap detak waktu yang terus bergulir perubahan akan selalu muncul. Perubahan, bisa dalam skala kecil maupun besar. Perubahan, dapat pula berlangsung singkat maupun lambat. Sesuai dengan durasi perubahan, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk berlangsungnya perubahan, semakin besar pula skala perubahan tersebut. Perubahan dalam jangka waktu singkat dan dalam skala kecil disebut dengan revolusi. Sementara, perubahan dalam jangka waktu lambat dan dalam skala besar disebut dengan evolusi. Lebih lanjut, Waluyo dalam bukunya yang berjudul Evolusi Organik mendeskripsikan bahwa evolusi merupakan perubahan, perkembangan, atau pertumbuhan yang terjadi secara bertahap akibat faktor alam atau manusia. Evolusi terjadi di berbagai bidang, seperti biologi, bumi, planet, perilaku, teknologi, budaya, dan seni. Terdapat tiga kelompok evolusi menurut Waluyo (2005), yaitu evolusi biologi (organic) membahas tentang evolusi makhluk hidup, evolusi budaya membahas tentang perubahan pada kebudayaan manusia, dan evolusi kosmik atau benda tak hidup yang membahas mengenai evolusi bumi, planet, bebatuan, hingga teknologi (Waluyo, 2005). Namun, pada pembahasan kali ini, akan lebih disoroti mengenai evolusi biologi dan bagaimana implementasinya dalam pembelajaran di sekolah menengah atas.
            Evolusi biologi, diajarkan di Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai bagian dari mata pelajaran biologi. Evolusi biologi merupakan bidang evolusi yang membahas mengenai asal-usul makhluk hidup. Dalam bidang evolusi biologi, terdapat dua tokoh yang paling terkenal, yaitu Lammarck dan Darwin. Lammarck terkenal dengan teorinya use and diuse yaitu teori yang menjelaskan bahwa bagian tubuh yang sering digunakan menjadi lebih besar dan kuat, sementara yang jarang digunakan akan semakin lemah, sebagai contoh, jerapah awal mulanya berleher pendek akan tetapi karena jerapah sering merenggangkan leher untuk mencapai daun di cabang yang tinggi, leher jerapah lama lama menjadi panjang. Sementara, Darwin terkenal dengan teori seleksi alam atau yang biasa disebut The Origin of Species. Seleksi alam merupakan suatu proses yang terjadi ketika individu-individu yang memiliki karakteristik warisan tertentu bertahan dan bereproduksi dengan laju yang lebih tinggi daripada individu lain, sebagai contoh dahulu terdapat dua spesies jerapah, yang satu berleher pendek dan satunya berleher panjang. Jerapah berleher pendek lama-lama mengalami kepunahan karena makanan jerapah terdapat di cabang yang tinggi sementara jerapah berleher panjang tetap hidup dan bereproduksi dengan sesama jerapah berleher panjang sehingga menghasilkan keturunan hingga saat ini hanya ada spesies jerapah berleher panjang (Campbell, 2012).
            Evolusi penting untuk diajarkan di SMA karena evolusi membahas mengenai asal-usul kehidupan, bukan hanya asal-usul makhluk hidup namun juga menjelaskan mengenai asal-usul alam semesta. Dalam mempelajari evolusi, dibutuhkan pemahaman yang mendalam dikarenakan evolusi merupakan ilmu yang kompleks. Evolusi biologi yang membahas mengenai asal-usul makhluk hidup tentulah harus dipahami dengan benar dan bijak karena jika terdapat miskonsepsi dalam memahami ilmu tersebut, maka akan menimbulkan kontroversi utamanya terkait dengan teori yang menyatakan bahwa asal mula manusia berawal dari kera. Oleh karena itu, sebaiknya dalam mengajarkan evolusi di SMA, seorang guru harus memiliki ilmu yang kuat tentang evolusi. Tak hanya ilmu, guru pun juga harus tahu metode yang tepat untuk mengajarkan teori tersebut kepada anak didiknya agar ilmu dapat tersampaikan dengan benar tanpa menimbulkan miskonsepsi. Wawasan guru mengenai perkembangan teori evolusi pun sangat dibutuhkan agar guru dapat membimbing siswa untuk memahami evolusi dengan baik dan benar sesuai dengan perkembangan teori evolusi itu sendiri.


            Mengajarkan evolusi memang tak dapat dikatakan mudah, mengingat ilmu evolusi sendiri tak sesederhana itu. Dalam mengajarkan evolusi kepada siswa SMA, terkadang terdapat suatu miskonsepsi atau siswa tersebut hanya mengerti saat pelajaran berlangsung saja, setelah itu lupa. Menurut pengalaman saya ketika duduk di bangku SMA, guru biologi cenderung mengajarkan evolusi dengan metode ceramah dan terpaku pada buku teks serta latihan soal. Akibatnya, saya sendiri hanya memahami ilmu yang diajarkan saat itu saja dan cenderung menggunakan sistem belajar menghafal saat akan menempuh ujian. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena guru dituntut untuk mengajarkan banyak teori dalam waktu singkat. Dalam praktik pendidikan di Indonesia, guru selalu dikejar dengan deadline harus menyampaikan materi yang berjumlah banyak dalam waktu yang terbatas. Hal ini terjadi karena evolusi di SMA diajarkan di kelas XII. Kelas XII, menurut pengalaman saya merupakan fase dimana siswa dituntut untuk mengikuti ujian demi ujian, mulai dari uji coba Ujian Nasional yang dapat dilakukan dalam 5 kali pengulangan hingga Ujian Nasional yang sesungguhnya. Sehingga hanya sedikit waktu yang dimiliki guru untuk menjelaskan banyak materi kepada siswa. Padahal, jika saja sistem pendidikan di Indonesia tidak terlalu menitikberatkan pada berbagai jenis ujian dan nilai akhir siswa, beban guru dalam mengajar akan sedikit berkurang yang berkorelasi dengan lebih leluasanya guru untuk membuat RPP dengan berbagai metode kreatif. Akan tetapi, sebenarnya guru dapat menyiasati hal tersebut dengan mempersiapkan jauh-jauh hari mengenai bagaimana cara mengajarkan evolusi dalam bidang ilmu biologi secara kontekstual. Menurut saya, guru dapat berkolaborasi dengan guru sejarah, mengingat evolusi di SMA tak hanya diajarkan di mata pelajaran biologi saja namun juga mata pelajaran sejarah di kelas X. Guru biologi dapat bekerjasama dengan guru sejarah, kepala sekolah, dan seluruh guru di sekolah tersebut untuk dapat mengagendakan kunjungan ke situs-situs ataupun museum yang terkait dengan evolusi makhluk hidup. Misalnya, bagi siswa SMA N 1 Magelang, saya mengusulkan kunjungan dalam bentuk trip mengunjungi situs-situs dan museum yang dimulai dengan kunjungan ke Museum Bioantropologi dan Paleoantropologi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta kemudian ke Gua Braholo di Gunung Kidul, kemudian ke Museum Sangiran di Sragen. Trip tersebut dapat diagendakan di kalender akademik sekolah pada saat rapat kerja agar satu hari saja, misalnya di hari Jumat, siswa kelas 10 diliburkan dari kegiatan belajar mengajar di kelas dan diganti dengan agenda kunjungan. Setelah agenda kunjungan berakhir, siswa diberikan tugas untuk membuat laporan mengenai sejarah manusia purba dan jenis-jenis fosil ataupun artefak yang dijumpai selama perjalanan beserta keterangannya. Setelah itu guru memberikan himbauan kepada siswa agar tugas laporan tersebut diketik kemudian diprint untuk dijadikan satu dalam bentuk kliping. Selain itu, tugas tersebut juga dijadikan satu dalam bentuk softfile untuk dikirim ke email kelas sebagai antisipasi jika kliping yang telah dibuat terselip, hilang, atau rusak. Kliping yang dibuat di kelas X tersebut tetap dikumpulkan ke guru sejarah yang mengampu saat itu untuk diolah menjadi nilai mata pelajaran sejarah. Akan tetapi, saat siswa sudah naik ke kelas XII, guru biologi dapat meminta siswa untuk kembali memelajari soft file laporan kunjungan yang telah mereka buat di kelas X sebelum memulai pelajaran biologi bab evolusi. Hal tersebut agar siswa memiliki pemahaman mengenai asal-usul manusia purba dengan baik sebelum nantinya guru biologi mengintegrasikan dengan teori evolusi yang akan dipelajari dalam kelas. Sebenarnya di SMA N 1 Magelang sendiri, pernah dilakukan kunjungan ke situs Sangiran saat saya duduk di kelas X, akan tetapi kunjungan tersebut hanya berakhir di laporan akhir kegiatan saja dan tidak diintegrasikan dengan materi evolusi di bidang biologi saat saya duduk di kelas XII. Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama antara guru sejarah dan biologi agar terjadi integrasi yang baik antara materi evolusi yang diajarkan di mata pelajaran sejarah dengan materi evolusi yang diajarkan di mata pelajaran biologi. Jika hal ini dilakukan, tentu diharapkan pemahaman siswa mengenai teori evolusi dapat semakin baik dan meminimalisir terjadinya miskonsepsi.       

        Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sunarni, Amin, dan Suhadi (2017), pembelajaran biologi materi evolusi di kelas XII IPA SMAN I Glenmore Kabupaten Banyuwangi juga masih mengalami kendala. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, sejumlah 67% guru menyatakan bahwa bahan ajar yang digunakan belum lengkap, 33% menyatakan bahwa materi evolusi masih bersifat abstrak, dan 44% guru menyatakan terdapat miskonsepsi pada isi materi evolusi. Oleh karena itu, di jurnal tersebut dicantumkan solusi dari permasalahan tersebut, yaitu dengan menggunakan modul evolusi dengan pendekatan saintifik melalui model think, talk, and write (TTW). Model think, talk, write merupakan model pembelajaran yang dibangun berdasarkan kemampuan berpikir, berbicara, dan menulis. Di dalam modul TTW yang telah direvisi, peserta didik diajak untuk belajar dengan melibatkan kegiatan kelompok yang dapat dilakukan di lapangan dan di kelas. Selain itu, dalam pembelajaran tersebut, peserta didik juga diajak untuk belajar dengan menggunakan laman internet seperti pada tema evolusi digital. Modul dirancang dengan model think, talk, write, yaitu suatu model pembelajaran aktif. Modul tersebut membimbing peserta didik untuk memikirkan konsep awal yang merangsang apersepsi serta motivasi peserta didik terhadap tema yang dipelajari. Selain itu juga mengajak peserta didik untuk membahas ide-ide yang ditemukan dengan teman satu kelompok, serta menuliskan pokok pikiran penting setelah berdiskusi dengan teman satu kelompok (Wulandari, Amin, & Suhadi, 2017). Menurut saya, pembelajaran evolusi dengan modul TTW, sudah baik. Modul tersebut mampu membimbing siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran di kelas. Siswa juga menurut saya lebih mampu berpikir kritis karena siswa memikirkan konsep awal sendiri. Selain itu, modul tersebut juga membantu siswa meningkatkan komunikasi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan guru dengan siswa. Kegiatan pembelajaran secara kontekstual pun menurut saya sudah bisa dilakukan dalam penerapannya. Hal ini karena di dalam modeul terdapat aktivitas yang mengajak siswa untuk mengadakan kegiatan kelompok di lapangan. Secara keseluruhan pembelajaran menggunakan modul sudah baik dan dapat diterapkan di sekolah lain maupun di mata pelajaran lain. Hal ini karena pembelajaran dengan modul TTW mampu membuat siswa lebih aktif di kelas, mengurangi miskonsepsi siswa terkait materi evolusi, dan mampu mengajak siswa untuk memelajari materi secara kontekstual.
           
        Di lain pihak, pembelajaran evolusi di kelas XII SMA Negeri 2 Tanggul, Kabupaten Jember menurut saya juga sudah baik dan inovatif. Di SMA tersebut, pembelajaran evolusi dilakukan dengan metode Group investigation. Group investigation merupakan metode yang melibatkan siswa sejak perencanaan baik dalam hal menentukan topic maupun cara untuk memelajari topik tersebut melalui investigasi. Metode tersebut menuntut siswa untuk memilih topik, merencanakan kerja sama, dan mencari sumber, serta menyiapkan ataupun menyajikan laporan di depan kelas secara keseluruhan. Dalam pembelajaran dengan metode group investigation, siswa diajak untuk melakukan investigasi dalam hal menemukan petunjuk adanya evolusi (Zunaidah, 2016). Metode GI ini menurut saya sudah baik untuk diterapkan dalam pembelajaran evolusi. Hal ini karena metode ini membimbing siswa untuk berpikir kritis karena siswa dituntut untuk memilih sendiri topik yang akan dibahas selama pembelajaran berlangsung. Keaktifan siswa juga dapat berkembang dengan penerapan metode ini. Hubungan antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan guru dengan siswa juga dapat ditingkatkan melalui kegiatan diskusi kelompok dengan metode GI. Kemampuan kerjasama antar siswa juga bisa ditingkatkan dengan menerapkan metode ini. Akan tetapi, kegiatan pembelajaran dengan metode group investigation menurut saya kurang kontekstual. Siswa hanya mengkaji evolusi berdasarkan sumber literature dan permasalahan yang ditemukan dari sumber tersebut. Siswa tidak mengkaji literature berdasarkan sumber riil di lapangan. Oleh karena itu, menurut saya, pembelajaran evolusi dengan metode ini perlu diadakan peningkatan dengan menambahkan kegiatan studi lapangan dalam praktik pembelajarannya.




Daftar Pustaka
Campbell. (2012). Biologi Edisi 8, Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Waluyo. (2005). Evolusi Organik. Malang: UMM Press.
Wulandari, Amin, & Suhadi. (2017). PENGEMBANGAN MODUL EVOLUSI DENGAN         PENDEKATAN SAINTIFIK MENGGUNAKAN MODEL THINK, TALK, WRITE         (TTW) DI SMA. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan , 2 (1), 32-      41.
Zunaidah. (2016). MENINGKATKAN PEMAHAMAN EVOLUSI MELALUI METODE         GROUP INVESTIGATION. Jurnal Praktik Penelitian Tindakan Kelas Pendidikan Dasar & Menengah , 6 (2), 61-65. 

Komentar

Postingan Populer