Sahabat Kecil



Sore yang indah. Mentari beranjak menuju peraduannya, kapas-kapas putih berubah menjadi semburat jingga. Angin senja itu menerpa pipiku bersamaan dengan lesung yang tercetak setiap kali kusunggingkan senyumku. Aku menatap foto itu dan tersenyum penuh arti setiap kali melihat sesosok anak laki-laki di dalamnya. Senyum yang menyimpan perpaduan antara perasaan mendamba dan kehilangan. Ya, anak laki-laki itu menyimpan sejuta cerita atas diriku dan dirinya. Dia, setahun lebih tua dariku. Kami dulu sering bermain di padang ilalang bersama peri-peri yang kami percayai selalu tertawa kecil setiap kali aku dan dia berlarian diantara ilalang yang menunduk malu. Peri-peri yang selalu ia percayai selalu menanti kita berdua di padang itu.
Dia menjadi pelangi dalam mendung hidupku. Setidaknya hingga dia tiba-tiba pergi tanpa sempat berpamitan padaku. Dia menghilang bagaikan ditelan bumi. Membuat padang ilalang yang dulu ceria menjadi tak bergairah tanpa pijakan langkah kaki kecilnya di sisiku. Membuatku tak bisa lagi mendengar tawa para peri. Mereka seolah lenyap seiring dengan musnahnya dia di hidupku.
“Jasmine? Ke sini nak.., bantu ibu sebentar!”
Panggilan ibuku mengembalikanku dari pengembaraan ke masa lalu yang sering aku lakukan sejak dia hilang tanpa jejak.
“Iya Bu.., sebentar” jawabku, langsung meletakkan foto itu di atas meja belajarku dan melesat ke luar kamar.
***
            Senja itu, aku kembali terduduk diantara ilalang yang bergoyang. Menatap sendu mentari yang bersiap untuk bergantian sift dengan rembulan. Aku menghembuskan nafas berat. Laki-laki itu tidak datang. Entah sudah keberapa kalinya aku duduk menunggu di padang ilalang ini setiap sore. Menanti sesuatu yang tak pasti. Namun, walau begitu entah kenapa selalu tersembul di benakku akan suatu keyakinan bahwa laki-laki itu pasti akan datang ke tempat ini suatu saat nanti. Suatu saat yang tidak kuketahui kapan tibanya. Menyedihkan memang. Melelahkan juga untuk selalu menunggunya di tengah ketidakpastian ini. Namun, aku tetap setia menunggunya walau itu akan menghabiskan seluruh hidupku.
***
            Aku terduduk di sebuah bangku tunggu di rumah sakit tempat keluargaku biasa bertandang. Saat itu aku menunggu ayahku memeriksakan gula darahnya yang akhir-akhir ini bermasalah. Ayahku memang mengidap penyakit diabetes, turunan dari kakekku. Namun, diabetes ayahku tergolong tidak terlalu parah karena ibuku selalu menjaga dan mengawasi dengan ketat rutinitas ayahku. Tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki tampak keluar dari suatu ruangan. Laki-laki itu menggunakan kursi roda. Di tangannya tertancap infus dan orang di belakangnya tampak seperti ayahnya sedang mendorong kursi rodanya, sementara ibunya berjalan di sampingnya. Memegang botol infusnya. Aku seperti tidak asing dengan keluarga itu. Mereka seperti sepotong puzle kehidupanku yang menghilang tapi aku tidak tahu pasti di mana potongan puzle itu akan kususun. Ketika aku sedang berfikir keras tiba-tiba ayahku menepuk pundakku dengan lembut.
“Ayo Jasmine, kita pulang sekarang” ujar ayahku.
“um.., oke.., ayo Yah” jawabku sambil masih memandang ke keluarga kecil itu yang telah berbelok menuju suatu lorong lain di rumah sakit itu.
***
            Hujan turun perlahan malam itu. Membasahi bagian bumi tempatku berada. Keluarga kecil yang aku temui di rumah sakit siang tadi cukup mengganggu hariku. Entah kenapa, aku merasa aku pernah mengenal mereka semua di masa silam kehidupanku. Saat itu secara tak sadar aku mengambil kotak tempatku menyimpan semua barang kenanganku dengan laki-laki di masa lalu. Aku menemukan karikatur diriku yang dia lukis secara diam-diam saat aku bermain di tempat favorit kami bersamanya. Sketsa itu sangat indah. Ia memang Da Vinciku. Ia mampu menciptakan karya hebat hanya dengan sebuah pensil dan tangan mungilnya. Aku membaca sepenggal tulisan yang ada di sudut bawah lukisan itu.
“Untuk teman termanisku. Tingkat kemanisanmu bertambah berkali lipat dengan mahkota bunga yang aku buat untukmu dan senyum merekahmu.
Ganang” 
Aku meraba tulisan itu. Air mataku menetes satu demi satu. Aku merindukannya. Kilasan-kilasan film masa laluku terputar di benakku. Aku tidak tahan dengan ini semua. Aku pun mendekap erat lukisan itu. Meneriakkan namanya di tengah hujan yang kini telah bertambah deras. Biarlah, biarlah aku mengalahkan derasnya suara hujan yang menghujam bumi agar kamu tahu Ganang, bahwa aku merindukanmu.
***
Siang itu tak begitu terik karena mungkin mentari sedang tak bersemangat melalui harinya sepertiku. Hari itu banyak sekali kerikil yang menghujani diriku. Mulai dari nilai ulangan harian matematika yang berbentuk seperti kursi terbalik, tugas yang sudah seperti Mount Everest, teman cowok yang tak henti-hentinya menjahiliku, hingga insiden dimarahi guru killer dan dihukum sepanjang pelajaran karena terlambat masuk kelas. Hari itu benar-benar bukan hari yang bersahabat untukku.
            “Argh...., benar-benar hari yang sial!” teriakku sambil menendang kaleng bekas yang tergeletak di padang ilalang.
Aku memang masih sering mengunjungi padang ilalang ini dengan harapan aku bisa bertemu dengannya lagi seperti dulu. Meski kini aku semakin menyadari bahwa ada baiknya juga jika aku tidak lagi mengunjungi padang ini karena aku terlalu lelah. Aku pun mulai merasa dia tidak akan lagi menantiku di sini seperti dulu.
            “Auw!!” teriak seorang laki-laki yang duduk di kursi roda sambil mengelus kepalanya dan meringis kesakitan.
Di sebelahnya berdiri seorang wanita berwajah lembut. Laki-laki dan wanita itu, bukankah mereka adalah orang-orang yang pernah aku lihat di rumah sakit waktu itu? Perlahan aku berjalan mendekati keduanya. Aku semakin yakin bahwa mereka adalah kepingan puzle kehidupanku setelah aku melihat mereka dari dekat. Kali ini aku berfikir lebih keras. Tiba-tiba tubuhku gemetar. Aku langsung mengalihkan pandanganku pada sesosok laki-laki kurus berwajah pucat yang duduk di kursi roda itu. Aku memperhatikan setiap lekuk wajahnya. Ya Tuhan, ini benar. Aku tidak mungkin salah. Dia adalah orang yang selama ini aku rindukan. Aku hanya bisa terdiam mematung dan entah apa yang merasukiku sehingga aku melangkahkan kakiku menuju sesosok laki-laki dengan jaket biru dan topi wol hangat tersebut. Aku berlutut di dekat kursi rodanya. Aku benar-benar yakin dia yang selama ini aku nanti. Wajahnya mirip sekali dengannya dan wanita di sebelahnya itu, dia mirip sekali dengan Tante Ina, ibu dari laki-laki yang selama ini aku tunggu.
            Laki-laki itu hanya menatapku dengan tatapan bingung. Sementara aku memandangnya dengan raut muka yang seolah-olah bertanya
“Hai, tidakkah kamu mengingatku? Kita dulu sahabat bukan? Yang selalu tertawa bersama di antara ilalang-ilalang ini?”
Sejenak hanya sunyi yang tercipta di antara kita. Hingga aku tak tahan lagi untuk berbicara dengannya.
“Hai Ganang.., aku tahu kamu Ganang.., apakah kamu masih ingat aku?”
“Um..., maaf, kamu siapa?” tanyanya, mengejutkanku.
Tidak, tidak mungkin dia melupakanku. Mungkin dia hanya tidak mengenaliku untuk sesaat.
“Kamu tidak ingat aku? Tapi kamu benar-benar Ganang kan?”
“Iya aku Ganang.., tapi argh....., aku...., aku benar-benar tidak tahu kamu siapa” jawabnya sambil berusaha dengan keras menemukan ingatan yang mungkin terselip di memori otaknya.
“Aku sahabat kecilmu. Dulu kita sering bermain di sini.”
“Sahabat kecil? Aku tidak ingat aku pernah punya sahabat kecil. Aku bahkan tidak ingat bahwa aku pernah mengunjungi tempat ini sebelumnya. Namun, aku seakan mengenal tempat ini.”
“Kamu memang mengenal tempat ini Ganang, aku Jasmine sahabat kecilmu.” Kataku dengan suara bergetar.
“Mungkin kamu salah orang. Aku benar-benar tidak ingat bahwa aku punya sahabat kecil bernama Jasmine.”
Aku terhenyak mendengar jawabannya. Bulir-bulir air mata mulai berjatuhan menuruni pipiku. Aku menengadah memandang wanita itu. Wanita itu sengaja menjauhkan pandangannya dariku. Dia menangis. Aku tak tahan lagi. Rasa kecewa dan terlupakan yang sangat menyakitkan bertumpukan di dadaku. Aku merangseknya.
“Kenapa kamu tidak mengingatku? Apakah kamu sengaja membuang semua kenangan kita? Kamu pergi seenaknya meninggalkanku tanpa jejak dan sekarang aku menemukanmu lagi dan kamu bilang tidak mengenaliku? Kamu jahat Ganang! Kamu tahu? Selama ini aku terus mengingatmu! Aku memandangi fotomu setiap senja agar aku tidak melupakanmu! Aku terus mendatangi padang ilalang ini yang katamu banyak peri yang menanti kita di sini dengan harapan agar...”
“Cukup! Cukup Jasmine!” seru Tante Ina padaku, memutus ucapanku yang mungkin sudah keterlaluan sambil menyeretku menjauhi Ganang.
Sementara itu Ganang hanya bisa memandangi kami dengan tatapan bingung.
“Dia memang Ganangmu. Aku Tante Ina. Tapi maaf jika Ganang tidak mengingatmu. Ganang sakit Jasmine. Kanker otak stadium lanjut! Itu sebabnya dia melupakanmu yang sebenarnya tidak ia inginkan sama sekali!”
Perkataan Tante Ina bagai tombak yang menghujam jantungku.
Sesaat aku hanya bisa mematung. Bulir-bulir air mata berjatuhan lebih deras dari sebelumnya. Aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Terlalu pahit. Sekarang aku tahu dari Tante Ina bahwa dia sengaja meninggalkanku selama ini agar aku bisa melupakannya. Sejak awal dia tahu dengan kanker yang bersarang di otaknya, dia akan cepat atau lambat kehilangan daya ingatnya yang berarti juga kehilangan kenangan dan memori tentangku. Dia tidak mau aku tersakiti untuk itulah dia sengaja pergi. Siang itu, siang yang murung di padang ilalang tempat para peri menanti, aku telah menemukan Ganang sekaligus kehilangan dia yang dulu, yang masih memiliki memori tentangku dan padang ilalang ini.

Tulisan ini telah diterbitkan di Majalah G-Magz (Gladiool Magazine), majalah terbitan Redaksi Berita SMA N 1 Magelang, edisi 2 (2014)

Komentar

Postingan Populer